Hukum Kepailitan

A.  Pengertian
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya, Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia:
·       UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;
·       UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
·       UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
·       UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
·       Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
·       Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)
Pihak yang Dapat Mengajukan Pailit:
·       Atas permohonan debitur sendiri
·       Atas permintaan seorang atau lebih kreditur
·       Kejaksaan atas kepentingan umum
·       Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
·       Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Syarat Yuridis Pengajuan Pailit:
·       Adanya hutang
·       Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
·       Adanya debitur
·       Adanya kreditur (lebih dari satu kreditur)
·       Permohonan pernyataan pailit
·       Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga
Langkah-Langkah dalam Proses Kepailitan:
1.    Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis di atas.
2.    Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
3.    Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang – piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing – masing kreditur.
4.    Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan.
5.    Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian diterima.
6.    Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar – benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlah dengan hutangnya.
7.    Pemberesan / likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepada kreditur konkruen, setelah dikurangi biaya – biaya.
8.    Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada.
9.    Kepailitan berakhir.
Akibat Hukum Putusan Pengadilan
Zainal Asikin, menguraikan beberapa akibat hukum dari putusan pailit. Hal yang utama adalah dengan telah dijatuhkannyaputusan kepailitan, si debitur (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut beralih ke tangan curator/Balai Harta Peninggalan.
Namun, tidak semua harta bendanya akan beralih penguasaan dan pengurusannya ke curator/ Balai Harta Peninggalan. Dikecualikan dari hal ini (kepalitan) adalah:
a.    Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahkan makanan untuk tiga puluh hari bagi debitur dan keluarganya.
b.    Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian suatu jabatan atau jasa, upah, uang tunggu, dan uang tunjangan, sejauh yang dientukan oleh Hakim Pengawas
c.    Uang diberikan kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya member nafkah. (pasal 22 UU No. 37 tahun 2004)

Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum apabila dengan perbuatan hukum tersebut akan menambah harta kekayaannya.
Apabila ternyata di kemudian hari, perbuatan hukum itu merugikan kekayaan pailit, curator/ Balai Harta Peninggalan dapat mengumukakan pembatalan perbuatan hukum tersebut. Pasal 36 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan sebagai berikut:
a.    Dalam hal pada saat penyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbale balik yang belum atau sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada curator untuk memeberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh curator dan pihak tersebut.
b.    Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan antara pihak tersebut dengan curator mengenai jangka waktu di atas, Hakim Pengawas yang akan menetapkan jangka waktu tersebut.
c.    Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan curator menyatakan kesanggupannya, curator wajib memberikan jaminan atas kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Sebaliknya, jika curator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian, maka perjanjian tersebut dinyatakan berakhir dan pihak yang bersangkutandapat menuntut ganti rugi dan akan diberlakukan sebagai kreditor konkuren.
d.   Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, telah diperjanjikan untuk menyerahkan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dalam jangka waktu tertentu, dan pihak yang harus menyerahkan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dalam jangka waktu tertentu, dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut belum menyerahkannya setelah putusan pailit dikeluarkan, perjanjian tersebut menjadi hapus, dan dalam hal pihak lawan (yang mengadakan perjanjian) dirugikan karena penghapusan perjanjian tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkanganti rugi.
e.    Dalam hal debitur telah menyewa suatu benda, baik curator maupun pihak yang menyewakan barang/benda dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat istiadat setempat dalam jangka waktu paling singkat Sembilan puluh hari. Jika pembayaran uang sewa telah dilakukan, pemberitahuan perjanjian sewa tidak bisa dilakukan sebelum habisnya jangka waktu pembayaran sewa tersebut. Sejak diputuskannya keadaan pailit, uang sewa dinyatakan sebagai boedel pailit.
f.     Pekerja/buruh yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan kerja, atau curator dapat menghentikan hubungan kerja dengan mengindahkan perjanjian kerja dan peraturan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan memberitahukan paling singkat 45 hari sebelumnya. Sejak tanggal putusan pailit ditetapkan, upah kerja/buruh yang terutang sebelum maupun sesudah pernyataan pailit dinyatakan sebagai utang boedel pailit.
g.    Warisan dan hibah yang selama kepailitan jatuh kepada debitur pailit, oleh curator tidak dapat diterima dengan izin Hakim Pengawas, kecuali apabila menguntungkan harta pailit.
h.    Pembayaran suatu utang yang sudah jatuh tempo hanya dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitur sudah didaftarkan, atau dalam hal pembayaran utang tersebut merupakan akibat dari persengkokolan antara debitor dengan kreditor dengan maksud menguntungkan kreditor tersebut melebihi kreditor lainnya. Jika pembayaran yang sudah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk karena memang sudah jatuh tempo, pembayaran tersebut tidak dapat diambil kembali.

Dengan demikian, apabila suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur dan perbuatan hukum tersebut dapat merugikan para kreditor serta dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit ditetapkan, sedangkan perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, (kecuali dapat dibuktikan sebaliknya) debitur dan pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan dianggap mengetahui/sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Perbuatan hukum tersebut:
a.    Merupakan perikatan dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perikatan tersebut dilakukan.
b.    Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan belum dapat ditagih
c.    Dilakukan oleh debitur perorangan, dengan atau terhadap:
·      Anggota atau istrinya, anak angkat atau keluarganya sampai derajat ketiga.
·      Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam angaka 1 adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak-pihak tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut paling kurang sebesar 5o% dari modal disetor.
d.   Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau terhadap:
·      Anggota direksi atau pengurus debitur atau suami/istri atau anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga, dari anggota direksi atau pengurus tersebut.
·      Perorangan baik sendiri atau bersama-sama dengan suami/istri atau anak angkat/keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan tersebut, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur paling kurang sebesar 50 % dari modal disetor.
·      Perorangan yang suami/istri atau anak angkat/keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur paling kurang sebesar 50% dari modal disetor.
·      Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum/dengan atau terhadap badan hukum lainnya, apabila:
ü Perorangan anggota direksi atau penghubung pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama.
ü Suami/istri/anak angkat/keluarga sampai derajat ketiga merupakan anggota direksi/pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya
ü Perorangan anggota direksi atau pengurus, anggota badan pengawas pada debitur, atau suami/istri/anak angkat/keluarga sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur paling kurang sebesar 50% dari modal disetor.
ü Debitur adalah anggota direksi/pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.
ü Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama, baik bersama, atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarga sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur paling kurang sebesar 50% dari modal disetor
e.    Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lainnya dalam kelompok badan hukum di mana debitur merupakan anggotanya.

Selain itu, hal yang terpenting sebagai akibat hukum dijatuhkannya putusan kepailitan, adalah hal-hal yang berkaitan dengan sebagai berikut:
a.    Penghibahan. Dalam hal ini ditentukan bahwa hibah yang dilakukan debitur dapat dimintakan pembatalan apabila curator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkankerugian bagi kreditor (pasal 44 UU No. 37 Th 2004
b.    Pembayaran utang yang belum dapat ditagih (belum jatuh tempo), atau debitur melakukan perbuatan yang tidak wajiib, perbuatan itu dapat dibatalkan demi keselamatan harta pailit. Hal tersebut harus dibuktikan bahwa pada waktu dilakukannya perbuatan tersebut, baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui bahwa perbuatannya (debitur) itu akan merugikan pihak kreditor (pasal 45 UU No. 37 Th 2004).

Penundaan Pembayaran
Permohonan penundaan pembayaran itu harus diajukan oleh debitur kepada pengadilan dan oleh penasihat Hukumnya, disertai dengan :
1.    Daftar-daftar para kreditor beserta besar piutangnya masing-masing;
2.    Daftar harta kekayaan (aktiva/pasiva) dari si debitur.

Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh semua pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya, prosedur permohonan penundaan pembayaran tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Setelah pengadilan menerima permohonan penundaan pembayaran, secara langsung atau seketika pengadilan harus mengabulkan permohonan untuk sementara dengan memberikan izin penundaan pembayaran.
2.    Hakim pengadilan paling lambat 45 hari melalui panitera harus memanggil para kreditor, debitur dan pengurus untuk diadakan sidang.
3.    Dalam sidang tersebut akan diadakan pemungutan suara (jika perlu) untuk memutuskan apakah penundaan pembayaran tersebut dikabulkan atau ditolak. Berdasarkan hasil pemungutan suara inilah pengadilan akan dapat memutuskan secara definitif terhadap permohonan penundaan pembayaran.
4.    Dalam putusan hakim yang mengabulkan penundaan pembayaran definitif tersebut, ditetapkan pula lamanya waktu penundaan pembayaran paling lama 270 hari terhitung sejak penundaan sementara ditetapkan.
5.    Pengurus wajib segeramengumumkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dalam berita Negara Republik Indonesia, dan paling sedikit dalam dua surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, dan pengumuman tersebut harus memuat undangan untuk hadir dalam persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu siding tersebut, nama Hakim Pengawas, dan nama serta alamat pengurus.
6.    Setelah pengadilan mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang, panitera pengadilan wajib mengadakan daftar umum perkara penundaan kewajiban pembayaran utang dengan mencantumkan untuk setiap penundaan kewajiban pembayaran utang, di antaranya:
a.    Tanggal putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan tetap berikut perpanjangannya
b.    Kutipan putusan pengadilan yang menetapkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara maupun tetap dan perpanjangannya
c.    Nama hakim pengawas dan pengurus yang diangkat
d.   Ringkasan isi perdamaian dan pengesahan perdamaian tersebut oleh pengadilan,dan
e.    Pengakhiran perdamaian

Sepanjang jangka waktu yang ditetapkan untuk penundaan pembayaran, atas permintaan pengurus, kreditor, hakim pengawas atau atas prakarsa pengadilan, penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri dengan alasan-alasan berikut ini (pasal 255 UU No. 37 Th 2004)
1.    Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan iktikad tidak baik dala melakukan pengurusan terhadap hartanya.
2.    Debitur mencoba merugika para kreditornya
3.    Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya
4.    Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan dan yang disyaratkan oleh pengurus
5.    Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak memungkinkan lagi bagi debitur untuk melakukan kewajibannya pada waktunya

Dengan dicabutnya penundaan kewajiban pembayaran utang, hakim dapat menetapkan si debitur dalam keadaan pailit sehingga ketentuan kepailitan berlaku bagi si debitur. Debitur yang memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dapat mengajukan rencana perdamaian melalui pengadilan. Perdamaian itu diajukan pada saat atau setelah mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Hal ini berbeda dengan perdamaian pada kepailitan, yaitu sebagai berikut:
1.    Dari segi waktu, akor penundaan pembayaran diajukan pada saat atau setelah permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan hakim
2.    Pembicaraan (penyelesaian) akor dilakukan pada siding pengadilan memeriksa permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor kepailitan dibicarakan pada saat rapat verifikasi, yaitu setelah adanya putusan pengadilan
3.    Syarat penerimaan akor pada penundaan pembayaran haruslah disetujui setengah dari jumlah kreditor konkuren yang diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat permusyawaratan hakim, yang bersama-sama mewakili dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tesebut, dan mewakili tiga perempat dari jumlah piutang yang diakui. Sementara itu, akor pada kepailitan harus disetujui oleh dua pertiga dari kreditor konkuren, yang mewakili tiga perempat jumlah semua tagihan yang tidak mempunyai tagihan istimewa.
4.    Kekuatan mengikatnya akor pada penundaan kewajiban pembayaran utang berlaku pada semua kreditor (baik konkuren maupun prepent), sedangkan akor kepailitan hanya berlaku bagi kreditor konkuren.
            
             Akibat hukum apabila akor penundaan kewajibanpembayaran utang ditolak adalah hakim dapat langsung menyatakan debitur dalam pailit. Sementara itu, apabila akor diterima, harus dimintakan pengesahan kepada hakim. Dengan tercapainya penyelesaian melalui perdamaian (akor) yang telah disahkan, berakhirlah penundaan kewajiban pembayaran utang.


Berakhirnya Kepailitan
Suatu kepailitan dapatdikatakan berakhir apabila telah terjadi hal-hal sebagai berikut.

a.      Perdamaian
Debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang. Keputusan rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari seperdua jumlah kreditor  konkuren yang hadir dalam rapat dan yang mewakili paling sedikit dua pertiga dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau untuk sementara diakui oleh kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Apabila lebih dari seperdua jumlah kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan mewakili paling paling sedikit seperdua dari jumlah piutang kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, dalam jangka waktu paling sedikit delapan hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, harus diselenggarakan pemungutan suara kedua. Pada pemungutan suara kedua kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama.
Dalam setiap rapat kreditor wajib dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan panitera pengganti.
Berita acara rapat tersebut harus memuat:
1.    Isi perdamaian
2.    Nama kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan menghadap
3.    Suara yang dikeluarkan
4.    Hasil pemungutan suara, dan
5.    Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat (pasal 154 UU No. 37 Th 2004)
            Setiap orang yang berkepentingan dapat melihat dengan Cuma-Cuma berita acara rapat yang disediakan paling lambat tujuh hari setelah tanggal berakhirnya rapat di Kepaniteraan Pengadilan.
            Isi perdamaian yang termuat dalam berita acara perdamaian harus dimohonkan pengesahan kepada pengadilan yang megeluarkan keputusan kepailitan. Pengadilan harus mengeluarkan penetapan pengesahan paling lambat tujuh hari sejak dimulainya sidang pengesahan.
Namun demikian, pengadilan wajib menolak pengesahan apabila:
a.       Harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian
b.      Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin, dan
c.       Perdamaian itu terjadi karena penipuan, atau persengkongkolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai perdamaian. (pasal 159 ayat (2) UU No.37 Th 2004).
            Selanjutnya, dalam hal permohonan pengesahan perdamaian ditolak, baik kreditor yang menyetujui rencana perdamaian maupun debitur pailit, dalam jangka waktu delapan hari setelah putusan pengadilan diucapkan dapat mengajukan kasasi. Sebaliknya, dalam hal rencana perdamaian sisahkan atau dikabulkan, dalam jangka waktu delapan hari setelah putusan pengadilan diucapkan dapat diajukan kasasi oleh:
a.       Kreditor yang menolak perdamaian atau yang hadir pada saat pemungutan suara
b.      Kreditor yang menyetujui perdamaian setelah mengetahui bahwa perdamaian tersebut dicapai berdasarkan alasan yang tercantum dalam pasal 159 ayat (2) UU No. 37 Th 2004 diatas

b.      Insolvensi
Insolvensi merupakan fase terakhir kepailitan. Insolvensi adalah suatu kejadian di mana harta kekayaan (boedel) pailit harus dijual lelang di muka umum, yang hasil penjualannya akan dibagikan kepada kreditor sesuai dengan jumlah piutangnya yang disahkan dalam akor.
Dengan adanya insolvensi tersebut, Zainal Asikin menulis bahwa curator/Balai Harta Peninggalan mulai mengambil tindakan yang menyangkut pemberesan harta pailit,yaitu:
1.    Melakukan pelelangan atas seluruh harta pailit dan melakukan penagihan terhadap piutang-piutang si pailit yang mungkin ada di tangan pihak ketiga, di mana penjualan terhadap harta pailit itu dapat saja dilakukan di bawah tangan sepanjang mendapat persetujuan dari Hakim Komisaris
2.    Melanjutkan pengelolaan perusahaan si pailit apabila dipandang menguntungkan, namun pengelolaan itu harus mendapat persetujuan Hakim Komisaris
3.    Membuat daftar pembagian yang berisi: jumlah uang yang diterima dan dikeluarkan selama kepailitan, nama-nama kreditor dan jumlah tagihan yang disahkan, pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihan tersebut
4.    Melakukan pembagian atas seluruh harta pailit yang telah dilelang atau diuangkan itu.
5.    Dengan demikian, apabila insolvensi sudah selesai dan para kreditor sudah menerima piutangnya sesuai dengan yang disetujui, kepailitan itu dinyatakan berakhir. Debitur kemudian akan kembali dala keadaan semula, dan tidak lagi berada di bawah pengawasan curator/Balai Harta Peninggalan.

B.  Sejarah Hukum Kepailitan
Sejarah hukum kepailitan Hukum kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi. Kata “ bangkrut”, dalam bahasa Inggris disebut “Bangkrupt” , berasal dari undang-undang Italia, yaitu banca nipta . Sementara itu, di Eropa abad pertengahan ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Bagi Negara-negara dengan tradisi hukum common law, di mana hukum berasal dari Inggris Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun tersebu hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris.
Peristiwa ini ditandai dengan diundangkannya sebuah undang-undang yang disebut Act Againts Such Person As Do Make Bangkrup oleh parlemen di masa kekaisaran raja Henry VIII. Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang ngemplang untuk membayar utang sembari menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor secara individual. Sementara itu, sejarah hukum pailit di AS dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan kongres memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu aturan uniform mengenai kebangkrutan. Hal ini diperdebatkan sejarah diadakannya constitutional convention di Philadelphia pada tahun 1787.
Dalam the Federalis Papers, seorang founding father dari Negara Amerika serikat, yaitu James Medison, mendiskusikan apa yang disebut Bankrupcy clause. Kemudian, kongres pertama kali mengundangkan undang-undang tentang kebangkrutan pada tahun 1800, yang isinya mirip dengan undang-undang kebangkrutan di Inggris pada saat itu. Akan tetapi, selama abad ke-18, di beberapa Negara bagian USA telah ada undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitor yang disebut insolvency law. Selanjutnya, undang-undang federasi AS tahun 1800 tersebut diubah atau diganti beberapa kali. Kini di USA hukum kepailitan diatur dalam Bankrupcy. B. sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi menjadi tiga masa, yakni: Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku.
Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam: 1. Wet Book Van Koophandel atau WvK 2. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri. Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam.
Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK). Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu.
Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali. Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998.
Perkembangan Substansi Hukum Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:
1.    Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.
2.    Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.
3.    Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan.
4.    Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek.
5.    Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan. Masa berlakunya Faillisements Verordening.

Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).
1.    Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang.
2.    Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.

Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:
1.    Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya,
2.    Biaya tinggi.
3.    Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan.
4.    Perlu waktu yang cukup lama.

Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut. Masa berlakunya Faillisements Verordening . Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556). kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi.
Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordeningmasih baik. Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.31.
Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:
1.    Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.
2.     Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.



3 Responses to "Hukum Kepailitan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel